Ekonomi digital dan investasi startup di Indonesia menurut proyeksi memiliki trend menurun. Bhima Yudhistira, seorang ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa penyebabnya tidak hanya karena faktor makro ekonomi global seperti kenaikan suku bunga dan inflasi di negara asal investasi digital, tetapi juga karena lemahnya pasar domestik. Ia menilai bahwa persaingan bisnis digital di Indonesia sebagian besar tidak sehat karena tidak didorong oleh inovasi, melainkan persaingan harga.
Promo dan diskon besar-besaran dan berkelanjutan di platform belanja online juga disebut dapat merusak pasar karena masyarakat cenderung membeli barang berdasarkan harga, bukan karena inovasi layanan yang baru. Selain itu, pendanaan pada startup fintech lending juga mendapat sentimen negatif karena buruknya manajemen risiko dan adanya banyak masalah terkait dengan pinjaman online (pinjol) serta regulasi yang semakin ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perubahan tren ini juga terlihat dalam revisi proyeksi nilai ekonomi digital di Indonesia. Pertumbuhan nilai produk kotor (GMV) yang ditransaksikan melalui aktivitas ekonomi digital di Indonesia juga tidak secemerlang sebelumnya. Proyeksi GMV untuk 2025 pun turun dari US$130 miliar menjadi US$109 miliar.
Selain itu, nilai investasi yang masuk ke perusahaan teknologi di Indonesia juga menurun. Pada tahun 2021, investasi startup mencapai US$9,1 miliar, namun pada tahun 2022 nilai investasi turun menjadi US$5,1 miliar. Pada semester pertama tahun ini, nilai investasi bahkan tidak mencapai miliaran dolar, hanya sekitar US$400 juta.
Tingginya angka investasi pada tahun 2021 menjadi puncak investasi bagi startup RI, namun angka ini turun drastis pada tahun-tahun berikutnya. Semakin menurunnya nilai investasi menunjukkan bahwa arus investasi ke startup di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.