Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan di balik Telegram, aplikasi pesan instan, menggalang modal senilai US$ 330 juta (Rp 5,18 triliun) lewat penjualan obligasi.
Penggalangan dana tersebut diumumkan oleh pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov lewat kanal Telegram pada Senin (18/3/2024) waktu setempat.
Durov mengklaim obligasi yang ditawar Telegram diburu oleh investor sehingga banjir penawaran (oversubscribed). Persyaratan obligasi tersebut, lanjutnya, juga menguntungkan untuk Telegram.
“Peningkatan permintaan atas obligasi kami menunjukkan bahwa institusi keuangan global menghargai pertumbuhan Telegram, baik dalam hal pengguna maupun monetisasi,” kata Durov.
Dalam wawancara dengan Financial Times pekan lalu, Durov menyatakan Telegram “berharap bisa mencetak profit tahun depan” seiring dengan makin dekatnya rencana perusahaan untuk melepas saham di bursa.
Durov juga mengatakan bahwa penjualan obligasi “memperkuat posisi kami sebagai platform independen untuk menghadapi tantangan para Goliath di industri kami.”
Perang lawan WhatsApp
Tahun lalu, Durov mengklaim pertumbuhan Telegram membuat pesaing, termasuk WhatsApp, ketar-ketir. Durov menyebut Telegram kini menempati urutan kedua setelah WhatsApp dalam hal pangsa pasar. Ia mengutip data Apptopia yang berasal dari artikel Fortune.
“Dalam 5 tahun terakhir, Telegram melampaui Facebook Messenger untuk menjadi aplikasi pesan singkat berbasis cloud paling populer,” tulis Durov.
Ia sesumbar bahwa Telegram terus mendekati WhatsApp yang ada di urutan pertama. “Tidak heran pesaing kami khawatir,” imbuhnya.
Dilihat dari data yang diunggah oleh Durov, Telegram kini mengantongi 31% pangsa pasar di Desember 2022. Jumlah ini melampaui Facebook Messenger dengan 21 persen, dan Signal yang hanya 3 persen.
Sementara itu, WhatsApp ada di urutan pertama dengan pangsa pasar 44 persen.
WhatsApp dan Telegram memang kerap saling melempar sindiran. Bos WhatsApp, Will Cathcart sempat mengingatkan pengguna Telegram karena aplikasi tersebut tidak aman.
Peringatan itu dia sampaikan merujuk pada artikel Wired berjudul The Kremlin Has Entered the Chat. Dalam salah satu utasnya, Cathcart menjelaskan Telegram tak aman karena tidak didukung fitur keamanan end-to-end encryption secara bawaan.
Dia juga mengutip artikel yang menyatakan Telegram bisa membagikan seluruh informasi rahasia pada pemerintah.
“Telegram tidak dienkripsi dari ujung ke ujung [end-to-end encryption] secara default dan tidak ada untuk grup,” kata Cathcart.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Jurus WhatsApp Terlihat Offline Padahal Sedang Online
(dem/dem)