Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, mengatakan Indonesia tengah dalam kondisi darurat judi online. Sejauh ini, Kominfo telah memblokir jutaan konten judi online di internet dan memutus akses rekening yang terindikasi tempat transaksi judi online.
Sesungguhnya, persoalan judi di Indonesia bukan terjadi akhir-akhir ini saja. Sejak dahulu, judi selalu ada dan berujung polemik. Berbagai upaya pemberantasan tidak membuahkan hasil. Di titik ini, aktivitas judi yang selalu ada dalam dinamika zaman akhirnya mendorong pejabat tinggi penguasa Jakarta punya ide menarik.
Alih-alih memberantas, dia memanfaatkan uang hasil judi untuk kesejahteraan warga. Pejabat itu adalah Ali Sadikin yang kebetulan berstatus Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). Saat pertama kali menjabat pada April 1966, Ali mendapati tantangan berat membangun ibu kota negara.
Jakarta jauh dari bayangan kemegahan khas ibu kota. Kawasan ini kumuh. Kemiskinan merajalela. Anak-anak banyak yang belum sekolah. Mayoritas jalan juga belum dilapisi aspal. Tak heran, Jakarta kadang disebut juga “Kubangan kerbau.”
Semua itu diprediksi makin kacau seiring derasnya arus urbanisasi. Masalahnya, untuk menyulap “kubangan kerbau” perlu uang yang tak sedikit. Faktanya, Jakarta hanya dibekali uang Rp66 juta dari pemerintah pusat.
“Dengan Rp66 juta? Mana mungkin!,” kata Ali seperti dicatat Ramadhan K.H dalam memoar Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Dalam situasi ini, Ali tak bisa menggenjot pendapatan dari pajak. Mayoritas penduduk Jakarta dikategorikan miskin. Menarik pajak sama saja mencekik leher mereka. Maka, cara terbaik mencari pendapatan adalah lewat judi yang masif dilakukan diam-diam di Jakarta.
Wartawan senior Mochtar Lubis di harian Indonesia Raja bercerita, pelarangan atas masifnya judi di Jakarta bakal menimbulkan masalah lebih luas. Judi akan berkembang menjadi judi gelap lalu perlahan berubah menjadi kelompok terorganisir yang dibekingi orang pemilik kekuasaan atau kekuatan. Jika itu terjadi, maka kehidupan di Jakarta dipercaya bakal makin memburuk.
Sejalan dengan itu, Ali juga berpandangan daripada warga berjudi diam-diam, lebih baik pemerintah memperbolehkan. Dengan syarat, pemerintah dapat uang dari hasil judi. Toh, Ali melihat ada celah peraturan yang bisa melegalkan judi di Jakarta. Aturan itu warisan kolonial, yakni Statsblad tahun 1912 Nomor 230 dan Statsblad tahun 1935 Nomor 526.
“Atas dasar kewenangan tersebut, Pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah-langkah kebijaksanaan baik bersifat preventif maupun represif terhadap perjudian. Dalam usaha melokalisir penyelenggaraan judi, pemerintah memanfaatkan pajak judi sebagai salah satu sumber keuangan daerah,” kata Ali, dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin (1977).
Maka, lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967, judi pun dinyatakan legal. Hanya saja, proses judi cuma boleh dilakukan oleh keturunan Tionghoa yang dalam praktiknya tentu tak semua pengunjung berasal dari etnis tersebut.
Itupun hanya dilakukan di dua kasino yang ditetapkan pemerintah, yakni Copacabana di Ancol dan PIX di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Keduanya punya pengusaha keturunan Tionghoa, Apyang dan Yot Putshong.
Terbitnya aturan tersebut sudah pasti mengundang kritikan. Mayoritas kritik didasari oleh alasan agama karena Islam melarang aktivitas judi. Para alim ulama menentang ide tersebut. Namun, Ali tetaplah Ali.
Dalam suatu wawancara, 2 dekade setelah tak lagi jadi gubernur, dia mempersoalkan orang yang mempeributkan halal-haram, harusnya berpergian naik helikopter. Jangan jalan darat.
“Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), saya melegalkan judi karena pemda tak punya anggaran cukup. Padahal saat itu butuh banyak uang untuk membangun sekolah, puskesmas, dan jalan. Alim ulama semua meributkan, tapi saya bilang ke mereka, kalau mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter. Soalnya, jalan-jalan saya bangun dari uang judi. Jadi, jalan di Jakarta juga haram,” katanya kepada Tempo (2 Juli 2000).
Kepada para pengkritik aturan, Mochtar Lubis menuliskan saran terbuka bahwa jika legalisasi judi tak berjalan, Ali harus mematok pajak tinggi dan memungut uang dari segala macam aktivitas masyarakat. Dan para pengkritik harus ikut serta mencari jalan keluar. Tentu, jika ini terjadi semua masyarakat juga yang jadi korban. Oleh karenanya, aturan itu harus tetap berjalan. Toh, yang terlibat hanya segelintir masyarakat. Sisanya malah menikmati pembangunan.
“Ini semua akan langsung terasa di kantong rakyat Ibu kota yang mengecam perjudian di DKI,” ungkapnya.
Pada akhirnya, sejarah membuktikan bahwa itu semua membuahkan hasil. Uang hasil judi sebesar Rp5 miliar per tahun mengalir ke kas pemerintah daerah. Anggaran meningkat ribuan kali lipat. Berkatnya, pembangunan bisa terlaksana. Sekolah, Puskesmas, jalanan beraspal, pusat keramaian warga, dan gedung bertingkat bisa dibangun.
Selama 10 tahun aturan itu berlaku, Jakarta tak lagi jadi kubangan kerbau dan sudah menjadi kota modern. Bagi Ali, kesuksesan membangun Jakarta tak akan bisa terwujud tanpa ide legalisasi judi. Anggaran Jakarta yang mencapai Rp122 miliar di tahun 1977 pun tak akan sebesar itu tanpa judi.
Akan tetapi, kebijakan legalisasi judi akhirnya terhenti juga. Sebab, pemerintah pusat mengeluarkan aturan lebih kuat dan lebih tinggi soal pelarangan judi lewat UU No. 7 tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian.