Startup yang bangkrut dan tutup di Amerika Serikat (AS) meningkat 60% sepanjang tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh para pendiri yang kekurangan uang untuk melanjutkan operasional bisnis setelah booming startup sepanjang 2021-2022.
Perlambatan di sektor teknologi telah menyebabkan PHK massal selama beberapa tahun terakhir, bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Industri teknologi yang sebelumnya dianggap sebagai ‘masa depan’ kini menimbulkan kekhawatiran, dengan jutaan pekerjaan di startup terancam akibat ketidakpastian ekonomi.
Menurut laporan Carta, jumlah startup yang tutup meningkat dengan signifikan. Sebanyak 254 klien mereka yang didanai oleh modal ventura terpaksa gulung tikar pada kuartal pertama 2024. Tingkat kebangkrutan startup saat ini naik 7 kali lipat sejak Carta mulai melaporkan kegagalan startup pada 2019.
Beberapa startup besar seperti Tally, Caffeine, Olive, Convoy, dan WeWork telah tutup usia dalam kurun waktu yang sama. Faktor-faktor yang menyebabkan kebangkrutan startup tersebut antara lain adalah dampak dari kenaikan suku bunga, penurunan investasi modal ventura, tertahannya pendanaan startup, dan dorongan untuk mencatat pertumbuhan yang tinggi.
Para ahli memperkirakan bahwa ke depannya, mayoritas investasi akan mengalir ke startup yang mengembangkan sistem kecerdasan buatan (AI). Startup-startup yang tidak berbasis AI mungkin akan menghadapi masa depan yang sulit. Meskipun demikian, iklim pendanaan diprediksi akan kembali bergairah setelah dua tahun yang sulit.
Dalam situasi yang sulit ini, startup harus cerdik dalam mengelola keuangan dan pertumbuhan perusahaan agar tetap bertahan. Jika trend kebangkrutan terus meningkat, hal tersebut dapat berisiko terhadap ekonomi dan meningkatkan angka pengangguran.