Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa gempa megathrust bukanlah isu baru. BMKG mengungkapkan tentang megathrust ini untuk mendorong semua pihak agar dapat mengantisipasi bahaya gempa dan tsunami dari zona tersebut.
“Sebenarnya, isu megathrust bukanlah isu yang baru. Itu sudah menjadi isu yang lama. Namun, mengapa BMKG dan beberapa pakar mengingatkan? Tujuannya adalah untuk mengajak semua pihak untuk segera mengambil tindakan mitigasi,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Jumat (23/8/2024).
“Dengan demikian, tujuan utamanya adalah mitigasi, edukasi, persiapan, dan kesiapsiagaan,” tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, telah memperingatkan bahwa gempa dari dua zona megathrust, yaitu Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut, tinggal menunggu waktu.
Alasannya, dua zona tersebut sudah lama tidak mengalami gempa atau terdapat kesenjangan seismik, yaitu lebih dari dua abad. Biasanya, gempa besar memiliki siklusnya sendiri dalam rentang hingga ratusan tahun.
Dwikorita melanjutkan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai langkah antisipasi terhadap megathrust. Pertama, pemasangan sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami InaTEWS menghadap ke zona-zona megathrust.
“InaTEWS sengaja dipasang menghadap ke arah megathrust. Sebagai pengingat, di BMKG hadir untuk mengantisipasi dan memitigasi megathrust,” jelasnya.
Kedua, adalah edukasi bagi masyarakat lokal maupun internasional. Salah satunya adalah mendampingi pemerintah daerah (pemda) untuk menyiapkan infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan tempat evakuasi tsunami.
Selain itu, BMKG juga bergabung dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, yang bermarkas di kompleks BMKG. Komunitas ini bertujuan untuk mendidik 25 negara di Samudra Hindia dalam menghadapi gempa dan tsunami.
“Kami memberikan edukasi kepada publik tentang bagaimana menyiapkan masyarakat dan pemda sebelum terjadinya gempa dengan kekuatan tinggi yang dapat mengakibatkan tsunami,” katanya.
Ketiga, adalah melakukan pengecekan secara berkala terhadap sistem peringatan dini yang sudah dihibahkan ke pemda.
“Sirine peringatan tsunami seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sebagai hibah dari BNPB dan BMKG, namun pemeliharaannya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sesuai dengan otonomi daerah. Ternyata, saat kita tes sirine pada tanggal 26 setiap bulan, kebanyakan berbunyi namun ada beberapa yang bermasalah,” ungkapnya.
Keempat, adalah penyebarluasan peringatan dini bencana. Menurut Dwi, jika masyarakat harus siap, maka informasi harus disebarkan secara luas.
“Kami juga dibantu oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal ini,” ujarnya.
MASALAH OTONOMI DAERAH
Masalahnya, BMKG tidak bisa bergerak sendiri dari hulu ke hilir karena terkendala oleh faktor kewenangan dan otonomi daerah.
“BMKG tidak dapat bergerak sendiri karena fokus kerjanya lebih pada hulu, teknologi, dan sistem pemberian peringatan dini,” jelasnya.
“Ini mengapa kami terus membicarakan tentang megathrust karena semua pihak harus sadar bahwa ini tidak mungkin hanya diserahkan kepada BNPB atau BMKG. Kami memfasilitasi, mengoordinasikan, membimbing, namun yang melaksanakan adalah pihak daerah yang merupakan representasi dari masyarakat. Ini merupakan otonomi masing-masing daerah,” paparnya.
Contohnya adalah pemeliharaan sirene dan sistem peringatan dini bencana yang sudah dihibahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu, terdapat masalah terkait tata ruang, persyaratan bangunan, dan jalur evakuasi.
“Jalur evakuasi seringkali ditutup dan digunakan untuk bangunan seperti warung, yang seharusnya menjadi WC publik. Rambu evakuasi sudah tidak ada, namun tidak dipelihara,” ungkapnya.
BMKG menyebut bahwa beberapa pemerintah daerah telah cukup baik dalam melakukan mitigasi terhadap megathrust.
“Terdapat beberapa daerah yang sudah baik dalam upaya mitigasi, namun masih banyak yang perlu lebih dipersiapkan,” ujar Dwikorita.
Ia menyebut beberapa daerah yang sudah baik dalam upaya mitigasi, antara lain DI Yogyakarta, Bali, dan Sumatra Barat.
Namun, tantangan terbesar adalah saat terjadi pergantian kepala daerah. Hal ini menjadi masalah karena seringkali program penanganan bencana dari pemerintahan sebelumnya tidak berkelanjutan.
Sebagai contoh, kasus gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun 2018. Dwikorita mengatakan bahwa sejak tahun 2009 pihaknya telah mendampingi pemerintah daerah, perguruan tinggi, sekolah, dan LSM di sana dalam persiapan menghadapi Patahan Palu Koro.
“Semua sudah disiapkan, tata ruang sudah dijalankan. Ketika semuanya siap, tidak ada gempa tsunami. Namun, ketika terjadi pergantian kepala daerah, semua yang sudah disiapkan tidak dilanjutkan, dan akhirnya terjadi gempa dan tsunami,” ucapnya.
Pada saat itu, tsunami dengan ketinggian 4 hingga 7 meter melanda Palu, Donggala, dan Mamuju. Selain itu, terjadi juga likuefaksi tanah yang bergerak. Jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami mencapai angka 4.000 jiwa.
(dem/dem)