Jakarta, CNBC Indonesia – China semakin cepat ‘menjajah’ dunia melalui teknologi kemudi tanpa awak (self-driving). Terbaru, Uber Technologies dan WeRide bekerja sama untuk membawa taksi otomatis (robotaxi) asal China ke platform ridesharing.
Inisiatif ini akan dimulai di Uni Emirat Arab (UEA), seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (26/9/2024).
Kolaborasi WeRide dengan perusahaan global seperti Uber akan membantu perusahaan untuk memperluas bisnisnya di luar China. Sementara itu, ini juga menjadi momen bagi Uber untuk menambahkan pilihan robotaxi di platformnya.
Di AS, Uber juga memperluas kerjasamanya dengan Waymo milik Alphabet untuk membawa robotaksi di Austin dan Atlanta, Amerika Serikat, mulai awal bulan ini.
Pada bulan Agustus lalu, Uber juga bekerjasama dengan unit robotaxi Cruise milik General Motors untuk menawarkan robotaxi mereka di platform Uber mulai tahun depan.
Kolaborasi terbaru antara Uber dan WeRide akan diluncurkan di Abu Dhabi mulai akhir tahun ini. WeRide adalah perusahaan pertama yang telah memperoleh lisensi dari UEA untuk mengoperasikan robotaxi di negara tersebut.
WeRide sebenarnya juga berencana untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO) di bursa saham AS. Namun, IPO mereka ditunda, dan perusahaan mengatakan sedang berusaha untuk melengkapi dokumen yang diminta.
Namun, baru-baru ini pemerintahan Joe Biden mengusulkan larangan uji coba teknologi self-driving dari China dan Rusia di negaranya, baik dalam bentuk software maupun hardware dengan alasan mengancam keamanan nasional.
Perkembangan pesat robotaxi telah menimbulkan kekhawatiran terhadap ‘kiamat driver online’. Sebab, robotaxi tidak lagi memerlukan manusia untuk mengemudi kendaraan.
Laporan Reuters menyebutkan bahwa saat ini ada 19 kota di China yang sudah melakukan uji coba robotaxi dan robobus. Beberapa perusahaan terkemuka dalam teknologi ini adalah Apollo Go, Pony.ai, WeRide, AutoX, dan SAIC Motor.
Apollo Go berencana untuk mengoperasikan 1.000 robotaxi di Wuhan pada akhir tahun ini dan ingin berekspansi ke 100 kota pada tahun 2030.
Pony.ai, yang didukung oleh Toyota Motor dari Jepang, sudah mengoperasikan 300 robotaxi. Perusahaan ini berencana untuk mengoperasikan 1.000 robotaxi pada tahun 2026.
Vice President Pony.ai menyatakan bahwa robotaxi membutuhkan waktu 5 tahun untuk mencapai keuntungan yang berkelanjutan. Pada titik tersebut, perusahaan akan melakukan ekspansi besar-besaran.
WeRide dikenal sebagai perusahaan taksi otomatis, bus, dan penyapu jalan. AutoX, yang didukung oleh Alibaba Group, sudah beroperasi di Beijing dan Shanghai. Sementara SAIC telah mengoperasikan robotaxi sejak akhir 2021.
Perkembangan ini menunjukkan percepatan di China, yang kini didukung dengan penerbitan izin. Sedangkan AS mengambil pendekatan yang lebih bertahap dalam penerapan taksi otomatis.
Waymo, yang merupakan anak perusahaan Alphabet, adalah satu-satunya perusahaan yang mengoperasikan robotaxi di AS. Saat ini, perusahaan tersebut memiliki 1.000 kendaraan di San Francisco, Los Angeles, dan Phoenix.
Cruise, yang didukung oleh General Motors, melakukan pengujian ulang pada bulan April setelah salah satu kendaraannya menabrak seorang pejalan kaki tahun lalu.
Cruise mengatakan bahwa operasional mereka akan difokuskan pada tiga kota dan prioritasnya adalah keamanan. Waymo tidak merespons permintaan komentar terkait fenomena ini.
Mantan CEO Waymo, John Krafcik menyatakan ada perbedaan signifikan dalam hal keamanan di China dan AS. Pengembang robotaxi di AS lebih diperhatikan masalah keamanannya dibandingkan di China.
Walaupun robotaxi juga menghadapi isu keamanan di China, namun otoritas lebih mudah menyetujui izin uji coba demi mendukung tujuan ekonomi.
Dengan adanya 7 juta sopir online yang terdaftar di China, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan semakin meningkat. Data menunjukkan bahwa banyak orang beralih menjadi sopir online di tengah sulitnya pasar kerja akibat kelesuan ekonomi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru bagi para pekerja tersebut.
Pada Juli lalu, diskusi tentang hilangnya pekerjaan akibat robotaxi menjadi viral di media sosial. Banyak yang bertanya-tanya apakah mobil tanpa pengemudi akan mencuri pekerjaan sopir taksi.
Liu Yi (36 tahun), salah satu dari 7 juta sopir online di China, khawatir akan kehilangan pekerjaan akibat perkembangan teknologi. Sementara Wang Guoqiang (63 tahun) melihat ancaman besar dari inovasi teknologi tersebut.
Perkembangan ini memicu pertanyaan tentang nasib para sopir online yang mengandalkan pekerjaan tersebut untuk berpenghasilan.