Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan teknologi asing berbondong-bondong menuju Malaysia untuk berinvestasi di pusat data. Beberapa di antaranya termasuk ByteDance yang menggelontorkan US$350 juta dan Microsoft yang membeli lahan seluas 49 hektar senilai US$95 juta.
Ada juga Google yang mengalokasikan dana sebesar US$2 miliar pada bulan Juni lalu. Investasi tersebut bertujuan untuk membangun pusat data dan wilayah cloud pertama di negara tersebut. Baru-baru ini, Blackstone juga membayar US$16 miliar untuk akuisisi operator pusat data AirTrunk yang salah satu lokasinya berada di Johor. Sementara itu, Oracle juga mengumumkan investasi sebesar US$6,5 miliar untuk sektor pusat data di Malaysia, meskipun tidak menyebutkan lokasi secara spesifik.
Secara keseluruhan, investasi pusat data di Johor yang dapat digunakan untuk kecerdasan buatan (AI) dan komputasi cloud diperkirakan mencapai US$3,8 miliar pada tahun ini menurut Maybank. Peng Wei Tan, Senior Managing Director dari Blackstone yang memimpin akuisisi AirTrunk, mengatakan bahwa meskipun Johor tidak terlihat menarik pada pandangan pertama, namun sangat masuk akal untuk berinvestasi di sana.
Malaysia merupakan salah satu negara yang sangat responsif terhadap popularitas teknologi AI, terutama dari sektor pembangunan infrastruktur pusat data. Pemerintah Malaysia telah menetapkan Johor sebagai pusat data AI untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat dalam penyimpanan, pengelolaan, dan pelatihan sistem AI.
Sebagai informasi, tiga tahun yang lalu, Johor masih diidentifikasi sebagai lahan untuk industri perkebunan kelapa sawit. Namun, saat ini, dengan dibangunnya gedung-gedung pusat data di sana, Johor telah menjadi proyek konstruksi AI terbesar di dunia.
##Alasan Asing Ramai ke Malaysia
Kedatangan perusahaan asing ke Malaysia disebabkan oleh kebutuhan yang meningkat dari perusahaan teknologi besar untuk melatih chatbot, mengembangkan mobil otonom, dan mengadopsi teknologi AI lainnya secara cepat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka membutuhkan pusat data yang dilengkapi dengan ribuan chip komputer. Infrastruktur tersebut membutuhkan kapasitas listrik yang besar dan sumber daya air untuk pendinginan.
Virginia Utara di Amerika Serikat selama ini dikenal sebagai pasar pusat data terbesar di dunia karena kapasitas listrik, lahan, dan sumber air yang memadai. Namun, pasokan di sana semakin menipis. Perusahaan teknologi juga tidak bisa hanya mengandalkan satu lokasi di AS untuk membangun pusat data yang besar, sehingga mereka mulai melirik wilayah lain yang juga menyediakan lahan, listrik, dan air dalam jumlah besar.
Johor menjadi daya tarik karena memenuhi semua kebutuhan tersebut. Selain itu, Malaysia juga memiliki hubungan baik dengan AS dan China, sehingga mengurangi risiko politik bagi perusahaan-perusahaan yang ingin berinvestasi. Selain itu, lokasinya yang dekat dengan perbatasan Singapura, yang menjadi jalur kabel internet bawah laut paling padat di dunia, juga menjadi faktor penting.
Rangu Salgame, CEO Princeton Digital Group, mengatakan bahwa pengembangan fasilitas di Johor tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun juga untuk menyuplai AI secara global. Princeton Digital Group adalah operator pusat data yang melayani beberapa klien perusahaan teknologi terbesar di dunia.
##Malaysia Geser Singapura
Salgame menjelaskan bahwa banyak perusahaan sebelumnya membangun pusat data di Singapura karena ketersediaan interkoneksi di sana. Namun, pada tahun 2019, Singapura, yang padat penduduk, memberlakukan moratorium yang menghambat pembangunan pusat data. Hal ini disebabkan oleh penggunaan energi yang berlebihan di negara tersebut.
Meskipun Singapura pada akhirnya kembali mengizinkan penambahan pusat data baru dengan kapasitas 300 MW selama menggunakan energi hijau, para operator pusat data telah menemukan wilayah baru untuk berkembang, yaitu di sekitar Singapura. Amazon, Google, Meta, dan sejumlah perusahaan teknologi besar menjalankan pusat data mereka sendiri, namun mereka juga mengandalkan pihak ketiga untuk 30% kebutuhan di AS dan sekitar 90% kebutuhan global.
Kebanyakan pusat data di Johor dijalankan oleh pihak ketiga, sehingga mereka tidak memiliki kesepakatan langsung dengan perusahaan teknologi sebelum proyek dimulai. Setiap pusat data yang dibangun oleh vendor pihak ketiga memiliki nilai sekitar US$1-2 miliar. Oleh karena itu, perusahaan teknologi bertindak sebagai penyewa dengan memasang perangkat keras mereka sendiri di fasilitas pusat data.
Salgame memperkirakan bahwa Malaysia akan menjadi pasar pusat data terbesar kedua di dunia dalam 5 tahun ke depan. Kapasitas listrik yang digunakan juga menjadi ukuran industri pusat data. Virginia Utara memiliki kapasitas aktif sebesar 4,2 GW dan tambahan 11,4 GW yang sedang dalam pembangunan. Sementara Johor, yang tiga tahun lalu memiliki kapasitas di bawah 10 MW, kini sudah mencapai 0,34 GW yang aktif dan tambahan 2,6 GW yang sedang dibangun.
##Ancaman Krisis Air dan Listrik di Malaysia
Peran pemerintah sangat penting dalam mengubah Johor menjadi kekuatan baru dalam pusat data di Asia. Pemerintah berupaya menarik minat investor dengan menyederhanakan proses perizinan. Salgame menyampaikan bahwa pengajuan, pembangunan, dan operasional pusat data perusahaannya di Johor hanya memakan waktu sekitar 15 bulan.
Hendra Suryakusuma, Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO), mengatakan bahwa Malaysia memberikan berbagai insentif bagi pelaku pusat data, terutama bagi perusahaan dengan teknologi ramah lingkungan. Meskipun begitu, tantangan kebutuhan listrik dan air juga menghantui Malaysia. Riset dari Bank Investasi Kenanga memprediksi bahwa kebutuhan listrik dari pusat data di sana akan mencapai 5 gigawatt pada tahun 2035.
Wali Kota Johor Bahru, Mohd Noorazam Osman, menegaskan pentingnya keseimbangan antara keuntungan ekonomi dengan kebutuhan masyarakat lokal. Dia menyatakan perlunya pembangunan pabrik desalinasi yang dapat mengubah air laut atau air payau menjadi air tawar untuk memastikan kebutuhan air masyarakat lokal tetap terpenuhi. Saat ini, Johor Bahru menghadapi krisis air karena alokasinya untuk pusat data.
Pejabat dari Komite Investasi, Perdagangan, dan Konsumen setempat juga menekankan perlunya panduan yang jelas dari pemerintah terkait implementasi penggunaan pusat data energi hijau di kota tersebut.