Proses pemakzulan presiden atau wakil presiden bukanlah perkara yang ringan, tetapi diatur dengan jelas dalam konstitusi Indonesia. Hal tersebut merupakan prosedur yang harus diikuti dengan cermat dan tidak bisa dilakukan sembarangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menetapkan mekanisme yang berlapis mulai dari usulan di DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga keputusan akhir di MPR. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga stabilitas negara dan memastikan bahwa pemberhentian presiden atau wakil presiden hanya terjadi jika terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap hukum atau konstitusi.
Proses pemakzulan diawali dengan usulan pemberhentian presiden atau wakil presiden oleh DPR kepada MPR sesuai Pasal 7B ayat (1) UUD 1945. DPR kemudian meminta Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa apakah pelanggaran hukum telah terjadi. Jika Mahkamah Konstitusi menyatakan ada pelanggaran, maka DPR akan menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk mengambil keputusan dalam waktu 30 hari setelah menerima usulan tersebut.
Prosedur pemakzulan juga menegaskan bahwa presiden atau wakil presiden yang bersangkutan akan diberi kesempatan untuk menyampaikan pembelaan di hadapan sidang MPR sebelum keputusan diambil. Hal ini menunjukkan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan secara sembarangan, melainkan melalui tahapan hukum dan konstitusional yang ketat. Proses ini melibatkan DPR sebagai pengusul, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penilai, dan MPR sebagai lembaga pengambil keputusan akhir. Sehingga, pemberhentian presiden atau wakil presiden memerlukan upaya dan kewaspadaan yang teliti sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.