Malam Satu Suro yang jatuh pada 1 Muharram dalam kalender Hijriah memiliki makna khusus bagi masyarakat Jawa. Malam tersebut tidak hanya sebagai tahun baru dalam penanggalan Jawa-Islam, tetapi juga dilihat sebagai malam sakral yang penuh nuansa spiritual dan mistik. Pada tahun tertentu, malam 1 Suro jatuh pada waktu tertentu dan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Nama “Suro” sendiri berasal dari kata Asyura dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh, namun dalam tradisi Jawa kata ini berubah menjadi “Suro.”
Kalender Jawa yang memadukan unsur Islam dan kebudayaan lokal diperkenalkan oleh Raja Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo, bertujuan untuk menyatukan masyarakat Jawa dengan segala kelompoknya. Malam 1 Suro dipandang sebagai waktu keramat di mana dunia gaib dan dunia manusia bersinggungan. Oleh karena itu, masyarakat Jawa mengisi malam tersebut dengan ritual dan laku spiritual seperti tirakat, ziarah kubur, dan selametan.
Selain itu, diberlakukan larangan-larangan untuk menghindari bala, kesialan, atau gangguan makhluk halus. Beberapa larangan tersebut antara lain adalah larangan keluar rumah, larangan berisik atau bicara, larangan menggelar pesta atau pernikahan, serta larangan pindah rumah. Di tengah berbagai mitos dan larangan itu, malam 1 Suro menjadi momen penting bagi masyarakat Jawa untuk membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi, menyucikan hati, serta memperbaiki hubungan dengan Tuhan.
Meski begitu, Malam Satu Suro bukan hanya pergantian tahun dalam kalender Jawa. Tradisi ini mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa berhasil mengintegrasikan ajaran Islam dengan nilai-nilai kultural lokal, menciptakan sebuah warisan adat yang tetap lestari hingga saat ini. Tradisi Malam 1 Suro menjadi salah satu bagian dari warisan budaya masyarakat Jawa yang senantiasa dijunjung dan dilestarikan.