Krisis populasi tidak hanya terjadi di beberapa negara Asia seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, tetapi juga terjadi di Rusia di tengah perang dengan Ukraina. Menteri Ketenagakerjaan Rusia, Anton Kotyatov, mengungkapkan bahwa Rusia membutuhkan tambahan 10,9 juta orang dalam kegiatan ekonomi pada tahun 2030. Hal ini dikarenakan 10,1 juta orang akan mencapai usia pensiun pada tahun tersebut, sementara 800.000 lainnya dibutuhkan untuk pekerjaan baru.
Pertumbuhan produktivitas yang kurang dari asumsi awal mungkin akan mengakibatkan kekurangan tenaga kerja di masa depan, yang dapat berdampak pada kelangsungan ekonomi Rusia. Upaya untuk meningkatkan angka kelahiran dibahas dalam pertemuan di Kremlin, termasuk pemberian insentif keuangan kepada keluarga besar.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah menetapkan pertumbuhan populasi sebagai prioritas nasional. Putin bahkan mendorong agar perempuan melahirkan 8 anak sebagai upaya untuk mengatasi krisis populasi. Namun, angka kelahiran di Rusia pada 2024 menurun menjadi 1,22 juta, sementara angka kematian meningkat menjadi 1,82 juta.
Tidak hanya masalah angka kelahiran, perang di Ukraina juga memperparah kekurangan tenaga kerja di Rusia. Hal ini disebabkan oleh cedera dan kematian di medan perang yang membuat populasi usia kerja menurun. Prospek demografi yang suram membuat populasi Rusia berisiko berkurang setengahnya pada akhir abad ini.
Kekurangan tenaga kerja telah berdampak pada ekonomi Rusia, di mana para pemberi kerja harus mengandalkan pensiunan dan remaja untuk mengisi lowongan pekerjaan. Hal ini telah meningkatkan upah, mengakibatkan inflasi, dan menambah tekanan pada ekonomi Rusia yang sudah terdistorsi oleh pengeluaran masa perang. Menteri Ekonomi Rusia, Maxim Reshetnikov, bahkan memperingatkan bahwa negara tersebut terancam menghadapi resesi.