Fenomena kematian massal satwa akibat gelombang panas ekstrem menjadi bukti krisis iklim yang semakin mencekam. Kasus terbaru terjadi di Tecolutilla, Meksiko, di mana puluhan monyet howler mati karena dehidrasi dan kelelahan. Suasana panas ekstrem dengan suhu mencapai 43 °C menyebabkan 83 monyet lainnya ditemukan mati di Tabasco, dengan ratusan lainnya diyakini juga ikut tewas. Kejadian serupa terjadi di berbagai belahan dunia, di mana hewan lain seperti kelelawar, teritip, kerang, dan tikus kecil juga menjadi korban gelombang panas ekstrem.
Studi ilmiah telah menunjukkan bahwa populasi satwa liar di tropis sangat rentan terhadap dampak gelombang panas ekstrem. Sebuah penelitian oleh Maximilian Kotz dari Potsdam Institute for Climate Impact Research menemukan bahwa populasi burung tropis telah mengalami penurunan signifikan dalam beberapa dekade terakhir akibat panas yang meningkat. Gelombang panas ini tidak hanya memengaruhi satwa liar secara lokal, tetapi juga dapat memicu kepunahan massal yang lebih parah daripada deforestasi.
Perilaku hewan juga terpengaruh oleh gelombang panas ekstrem, dengan kemampuan bertahan hidup yang terbatas. Hal ini terjadi karena saat suhu ekstrem, hewan cenderung beristirahat di tempat teduh dan tidak dapat melakukan aktivitas penting seperti mencari makan atau bereproduksi. Para ahli biologi, seperti PJ Jacobs dari University of Pretoria, menggarisbawahi betapa seriusnya dampak perubahan iklim terhadap keberlangsungan hidup satwa liar di berbagai ekosistem, terutama di daerah tropis. Semua ini menjadi bukti yang nyata bahwa krisis iklim sudah sangat mengkhawatirkan dan memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerugian lebih lanjut terhadap kehidupan satwa liar dan ekosistem global.