Berita  

Harta Karun Baru: Rebutan Berujung Petaka

Di tengah perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang pesat, lahan untuk membangun pusat data menjadi primadona bagi perusahaan teknologi raksasa. Meskipun menjanjikan potensi ekonomi besar, proyek-proyek ini sering kali menyisakan pertanyaan dan tudingan pelanggaran transparansi publik. Sebuah contoh kasus datang dari Mason County, Kentucky, Amerika Serikat. Seorang petani bernama Dr. Timothy Grosser menolak tawaran fantastis sebesar US$10 juta atau sekitar Rp160 miliar untuk lahan pertaniannya seluas 100 hektar yang telah ia kelola selama hampir empat dekade.

Penolakan ini disebabkan oleh perwakilan sebuah “perusahaan Fortune 100” yang tidak bersedia membocorkan informasi lebih lanjut tentang proyek tersebut. Permintaan untuk menandatangani perjanjian kerahasiaan (NDA) membuat Grosser menolak tawaran tersebut karena ia menilai kehormatan dan transparansi lebih penting dari sekadar nilai finansial semata.

Kisah serupa dengan yang dialami Grosser semakin umum terjadi di Amerika Serikat. Proyek-proyek pusat data bernilai miliaran dolar seringkali melibatkan NDA yang membatasi komunikasi pejabat daerah dan penjual tanah dengan publik. Fenomena ini muncul seiring dengan lonjakan permintaan layanan AI yang memaksa perusahaan untuk membangun fasilitas baru di berbagai negara bagian AS.

Namun, meski menjanjikan kemajuan teknologi, pesatnya pembangunan pusat data juga menimbulkan masalah lingkungan. Konsumsi listrik dan air yang tinggi serta dampak lingkungan yang signifikan menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat di sekitar pusat data. Di samping itu, penggunaan perusahaan cangkang (shell company) dan praktik kontrak rahasia semakin membuat warga sulit untuk mengetahui detail proyek dan dampaknya bagi lingkungan.

Pat Garofalo, Direktur Kebijakan di American Economic Liberties Project, menegaskan bahwa praktik ini dapat mengancam prinsip dasar demokrasi. Dalam upaya menjaga kerahasiaan bisnis, penggunaan NDA di proyek data center dianggap semakin mengurangi keterbukaan publik dan memicu ketidakpercayaan.

Sementara itu, keenam perusahaan teknologi besar yang disebut tengah berlomba membangun data center di seluruh AS enggan memberikan komentar terkait penggunaan NDA ini. Amazon, Microsoft, xAI, Google, Meta, dan Vantage Data Centers tampaknya memilih untuk bungkam atas tudingan yang muncul. Seiring debat terus berlanjut, masyarakat dan pemangku kepentingan diharapkan dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang memuaskan bagi semua pihak yang terlibat.

Source link