Gadjah Mada: Inspirasi Kepemimpinan dalam Sejarah Nusantara
Oleh: Prabowo Subianto (diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto)
Saat kecil, saya sering mendengar dongeng dari kakek, dan dari bapak saya. Dongeng tentang Gadjah Mada, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar. Mereka selalu cerita tentang pahlawan-pahlawan kita. Dan angkatan ’45 ini menarik – bagi mereka pokoknya Indonesia itu lebih hebat.
Dulu saat saya sekolah di sekolah Inggris, saya diajari sejarah pahlawan-pahlawan mereka, misalkan tentang Duke of Wellington, tentang Lord Nelson. Kalau perangnya diceritakan tentang Montgomery. Saat saya pulang ke rumah, saya cerita tentang Montgomery, langsung bapak bilang, “Tetapi, Panglima Besar Soedirman lebih hebat.” Selalu itu. “Diponegoro lebih hebat.” “Siapa itu Wellington? Diponegoro!”
Angkatan ’45 sangat percaya diri, sangat bangga, dan mereka sensitif. Karena mungkin mereka merasakan dihina sebagai bangsa, ditindas, dibilang inlander. “Koe inlander. Koe orang mau merdeka? Bikin peniti saja tidak bisa, mau merdeka.” Karena ada yang menghina kita, mereka melawan.
Kepercayaan diri angkatan ’45 banyak didasari dari kebesaran sejarah Nusantara. Bahwa di Indonesia pernah berdiri kerajaan- kerajaan yang hebat, salah satunya dan mungkin yang terhebat adalah kerajaan Majapahit. Ketika kita bicara soal Majapahit, kita tentu harus berbicara soal Gadjah Mada.
Gadjah Mada merupakan prajurit elite pengawal raja dan keluarga Kerajaan Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Raja Jayanegara. Di masa kepemimpinan Jayanegara, Gadjah Mada menunjukkan sejumlah kepiawaiannya. Saat pemberontakan yang dipimpin oleh Ra Kuti terjadi, Gadjah Mada berhasil menyelamatkan Raja Jayanegara. Namun, ia gagal dalam mengawal rajanya saat Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi, Gadjah Mada memiliki jabatan tertinggi di bawah raja Majapahit dengan diangkat sebagai Patih Amangku Bhumi pada tahun Saka 1258 atau tahun Masehi 1336. Dengan jabatan tersebut, Gadjah Mada memiliki tanggung jawab atas pemerintahan sepenuhnya. Ia kemudian mengumumkan program politik yang berfungsi untuk menyatukan nusantara.
Sejumlah program tersebut antara lain penundukan negara- negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan yakni Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan). Kemudian, ada wilayah Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Program tersebut dikenal sebagai ‘Sumpah Amukti Palapa’ dan kemudian dikenal sebagai titik awal kemajuan dan kejayaan kerajaan Majapahit.
Karier Gadjah Mada semakin memuncak pasca Tribhuwana Tunggadewi turun takhta pada 1351 M dan digantikan oleh Hayam Wuruk. Bersama Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, Majapahit mencapai masa gemilangnya.
Apa yang dapat kita pelajari dari Gadjah Mada? Pertama, kita belajar dari komitmennya yang kuat untuk menyatukan berbagai suku dan pulau di Nusantara ini. Komitmen bahwa harus ada satu bangsa besar yang menduduki Nusantara ini. Kedua, komitmen terhadap administrasi yang baik dan pemerintahan yang kuat yang didukung oleh kekuatan militer yang unggul. Saya pikir dari Gadjah Mada dan contoh lain dari raja-raja dan pangeran-pangeran besar Nusantara kita, kita sudah belajar apa yang diajarkan Thucydides ribuan tahun yang lalu: Yang kuat akan melakukan apa yang mereka bisa, dan yang lemah akan menderita.
Berulang kali dalam sejarah kita menemukan fenomena tersebut. Raja-raja dan pangeran-pangeran besar Nusantara kita selalu berusaha untuk membuat Indonesia kuat. Jika tidak, kita akan selamanya diinjak-injak dan dihina.