Berita  

China Ciptakan Jet Tempur Canggih – Apakah Bisa Kalahkan Bom Atom?

Pada sekitar tahun 1980-an, China masih merupakan negara berpendapatan rendah namun pemerintahnya sangat tekun dalam membangun teknologi militer untuk bisa mengatasi ancaman bom atom. Deng Xiaoping yang saat itu memimpin China, menginisiasi program aeronautika yang sangat ambisius dengan tujuan mengembangkan jet tempur dalam negeri berbasis teknologi lokal. Proses pembangunan jet tempur China terbilang sangat panjang, bahkan lebih lama dari masa jabatan Deng selama 11 tahun. Presiden Jiang Zemin meneruskan upaya tersebut dan pada tahun 1994 mengungkapkan bahwa membuat jet tempur bagi China lebih penting daripada memiliki bom atom.

Sebagian besar waktu yang dibutuhkan Beijing untuk mengembangkan J-10, yaitu jet tempur pertempuran udara ke udara yang juga bisa dilibatkan dalam misi serangan darat, memakan waktu sekitar dua puluh tahun. Meskipun Jet tempur ini mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2000-an, baru pada awal Mei 2025 jet tempur ini terlibat dalam pertempuran pertamanya, di mana J10-C Pakistan diklaim berhasil menembak jatuh jet Rafale India yang canggih.

Pakistan adalah satu-satunya negara selain China yang mengoperasikan J-10C, varian terbaru dari jet tempur tersebut. China secara penuh mengalokasikan sumber daya untuk mengembangkan pesawat militer sendiri daripada hanya membelinya dari negara-negara seperti AS, Rusia, atau Prancis. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan dari Mauro Gilli, seorang peneliti di Center for Security Studies of the Swiss Federal Institute of Technology, yang menyatakan bahwa China memang harus berinvestasi besar dan bekerja keras untuk membangun J-10 karena tidak memiliki opsi lain.

Untuk mengatasi tantangan teknis karena keterbatasan teknologi maju, China secara agresif berinvestasi dan belajar dari negara lain. Pada awal hingga pertengahan 1980-an, China mendapatkan akses ke teknologi Barat melalui hubungan yang baik, dan mempelajari sistem-sistem seperti radar dan rudal. Namun, hubungan militer China dengan Barat melemah setelah adanya sanksi AS sebagai respons terhadap protes di Lapangan Tiananmen 1989 dan berakhirnya program kerja sama militer AS-China yang dikenal dengan Peace Pearl.

Akibatnya, China beralih ke Uni Soviet dan kemudian Rusia dalam memperoleh teknologi militer. Kemerosotan ekonomi Rusia setelah runtuhnya Uni Soviet memungkinkan Beijing memperoleh sistem-sistem canggih dari Moskow yang sangat penting bagi kesuksesan pengembangan J-10. Saat ini, China telah berhasil membangun ekosistem pengembangan pesawat J-10 secara mandiri dan independen dengan menggunakan teknologi sepenuhnya buatan sendiri. Gilli bahkan menyatakan bahwa presentase teknologi China dalam J-10 kini telah mencapai 100%, membuat pertanyaan mengenai sejauh mana teknologi baru yang digunakan dalam J-10 menjadi tidak relevan.

Source link