Kekhawatiran tentang dampak teknologi kecerdasan buatan (AI) terhadap pekerjaan manusia telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan sejak kemunculan layanan ChatGPT dari OpenAI pada tahun 2022. Meskipun banyak pengusaha awalnya menolak anggapan bahwa AI akan menggantikan peran pekerja manusia, beberapa CEO dari perusahaan-perusahaan teknologi terkemuka di Amerika Serikat mulai mengakui bahwa AI memang akan menggeser banyak pekerja white collar. CEO Ford Motor, Jim Farley, bahkan memprediksi bahwa setengah dari pekerja kantoran di AS akan digantikan oleh kecerdasan buatan.
CEO Amazon, Andy Jassy, juga mengumumkan kemungkinan adanya PHK di masa mendatang karena perusahaan terus menerapkan teknologi AI. Perusahaan lain seperti Shopify dan JPMorgan Chase juga merencanakan pengurangan jumlah staf dan penggantian dengan sistem AI. Dampak AI terhadap pekerjaan administratif yang dapat diotomatisasi khususnya terasa kuat, sehingga para lulusan perguruan tinggi dengan pekerjaan white collar di bidang teknologi, keuangan, hukum, dan konsultasi diprediksi akan terkena dampak besar.
Meskipun pekerjaan kerah biru (blue collar) tampak lebih terlindungi, kehadiran AI dalam dunia kerja semakin meresahkan banyak kalangan. Pembahasan tentang kemungkinan pengangguran dan pergeseran dalam pasar tenaga kerja menjadi buah bibir, dengan beberapa pihak bahkan memperingatkan bahwa pengangguran di AS dapat meningkat antara 10-20%. Dengan penggunaan AI yang semakin luas dan efisien, ada potensi bahwa banyak pekerjaan manusia akan tergantikan dalam waktu dekat. Maka dari itu, para pekerja dan perusahaan harus mulai menyadari dan merencanakan langkah-langkah strategis dalam menghadapi perkembangan tersebut.