Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah studi menjelaskan hubungan antara perubahan iklim dengan peningkatan inflasi. Dalam jurnal Communications Earth & Environment, dampak pemanasan global dan cuaca ekstrem diprediksi akan menyebabkan kenaikan harga dan inflasi pangan.
“Kami menemukan bahwa kondisi suhu yang diproyeksikan pada tahun 2035 di bawah pemanasan di masa depan menyiratkan peningkatan tekanan inflasi di seluruh dunia,” tulis para peneliti dari Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim dan Bank Sentral Eropa, dikutip dari Business Insider, Jumat (5/4/2024).
Tanda ‘kiamat’ yang semakin jelas dengan kenaikan suhu Bumi dan lelehan gunung es dikatakan berkontribusi pada peningkatan rata-rata inflasi pangan sebesar 3,23% per tahun secara global. Dalam dekade mendatang, inflasi umum bisa terdorong naik 1,18%.
“Setelah tahun 2035, besarnya perkiraan tekanan terhadap inflasi sangat berbeda antar skenario emisi. Hal ini menunjukkan bahwa mitigasi gas rumah kaca secara tegas dapat mengurangi tekanan inflasi secara signifikan,” tulis mereka.
Perubahan iklim mulai memengaruhi berbagai sektor ekonomi, meningkatkan biaya perumahan di daerah dengan risiko iklim tinggi, serta memicu kekurangan pasokan komoditas pangan di seluruh dunia, mulai dari minyak zaitun hingga kakao.
Menurut peneliti, bahan pangan kemungkinan besar menjadi komponen inflasi terbesar yang terkena dampaknya. Dampak inflasi juga tidak akan seimbang, dengan tekanan terbesar terjadi pada negara-negara di Afrika dan Amerika Selatan.
Tekanan tersebut dapat diatasi dengan pendekatan kebijakan yang tepat, namun para peneliti juga memperingatkan bahwa jika emisi tidak dikurangi maka dampak inflasi akan semakin buruk.
“Dalam skenario emisi terbaik, tekanan eksogen terhadap inflasi hanya sedikit lebih besar pada tahun 2060 dibandingkan pada tahun 2035, namun skenario emisi terburuk akan menyebabkan tekanan inflasi pangan melebihi 4% [per tahun] di sebagian besar dunia,” kata para peneliti.