Sejak tahun 1629, manusia percaya bahwa penyakit yang menyerang syaraf dan darah atau beri-beri disebabkan oleh infeksi bakteri. Beranjak dari sini manusia pun berinovasi menciptakan penawar untuk membasmi bakteri. Namun, dua ratus tahun kemudian, kepercayaan dan inovasi tersebut ternyata salah.
Di Hindia Belanda (kini Indonesia) ada temuan baru oleh seorang dokter Batavia (kini Jakarta) bernama Christiaan Eijkman. Pada 1889 dari laboratorium rumah sakit militer Weltevreden (kini RSPAD Gatot Subroto), dia mematahkan itu semua lewat eksperimen terhadap ayam yang sudah terinfeksi beri-beri.
Sejarawan Universitas Sydney Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019) menceritakan, awalnya ayam tersebut diberi makan beras putih halus. Tak lama, ayam itu menunjukkan gejala beri-beri. Setelahnya, makanan ayam diubah jadi beras kasar. Ayam pun tak lagi mengalami gejala serupa.
Dari sini, Eijkman berkesimpulan: ada sesuatu di pakan beras kasar yang bisa mengobati beri-beri. Sekaligus juga membuka kemungkinan kalau beri-beri bukan penyakit infeksi bakteri, tapi ada hal-hal lain yang berkorelasi dengan makanan. Intinya, beri-beri bisa disebabkan oleh kekurangan zat bergizi.
Sayang, teori direktur Sekolah Dokter Djawa (kini Fakultas Kedokteran UI) itu tak bisa dilanjutkan. Pada 1896, dia harus pulang kampung ke Belanda. Meski begitu, temuan itu dipublikasikan dalam jurnal bergengsi yang pada akhirnya membuka titik terang baru soal beri-beri.
Beruntung, ilmuwan di seluruh dunia yang membaca riset baru tersebut berbondong-bondong melanjutkan riset Eijkman. Mereka menguji lebih lanjut kandungan yang terdapat dalam pakan beras tersebut.
Salah satu pengujian paling signifikan dilakukan oleh Frederick Gowland Hopkins. Ilmuwan Inggris itu mengatakan bahwa manusia dan hewan perlu zat tryptophan atau asam amino yang ada di protein. Untuk mendapat zat itu, manusia dan hewan harus mendapatkannya dari bahan makanan. Tubuh tak bisa memproduksi sendiri.
Dalam kasus temuan Eijkman, zat tryptophan itulah yang ada di dalam pakan beras. Setelah melalui serangkaian penelitian oleh beberapa ilmuwan lain, zat itu di kemudian hari diidentifikasi sebagai vitamin.
Berkat temuan itu, misteri terpecahkan. Beri-beri terbukti disebabkan bukan oleh infeksi bakteri, tapi murni terjadi karena kekurangan vitamin. Temuan tersebut membuat Eijkman dan Hopkins mendapat anugerah Nobel bidang kedokteran pada 1929. Komite Nobel menyebut riset-riset keduanya di Hindia Belanda dianggap sebagai dasar penting dalam penemuan vitamin.