Setiap tanggal 6 Februari, dunia memperingati Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia. Kontroversi yang berkelanjutan tentang sunat pada bayi perempuan masih memecah belah para orang tua. Sebagian percaya bahwa sunat perempuan melanggar hak asasi perempuan dan berdampak negatif bagi kesehatan dan kehidupan sosial anak. Namun, ada juga yang memandang sunat perempuan sebagai tradisi atau tuntunan agama. Perbedaan pandangan ini telah menciptakan diskusi tanpa kesepakatan universal.
Sunat perempuan menurut Peraturan Menteri Kesehatan adalah tindakan menggores kulit bagian depan klitoris tanpa merusak klitoris itu sendiri. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sunat perempuan sebagai bentuk mutilasi alat kelamin perempuan. Di Indonesia, berbagai cara dilakukan untuk melaksanakan sunat perempuan, mayoritas dilakukan pada anak usia 1-5 bulan. Data menunjukkan bahwa sebagian anak perempuan mengalami sunat berdasarkan kriteria WHO, sementara lainnya menjalani sunat secara simbolis.
Data global menunjukkan jumlah anak perempuan yang berisiko mengalami sunat perempuan masih sangat tinggi. Meskipun ada masyarakat yang mempertahankan tradisi sunat perempuan, berbagai organisasi kesehatan internasional menyatakan dampak negatif yang mungkin timbul akibat praktik tersebut. Debat seputar sunat perempuan bukan hanya tentang budaya atau kepercayaan, tetapi juga tentang hak, kesehatan, serta perlindungan terhadap perempuan dan anak.